idteknologi.com – Ketahanan pangan bukan lagi sekadar soal beras dan lauk sederhana. Di Kalimantan Tengah, konsep itu mulai bergeser ke arah menu bergizi seimbang. Salah satunya melalui rencana penguatan pasokan udang bagi Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Upaya ini menarik karena menyentuh dua sisi sekaligus. Pemenuhan gizi masyarakat rentan, terutama anak sekolah, serta penguatan ekonomi pembudidaya udang lokal. Ketahanan pangan akhirnya menyatu dengan ketahanan ekonomi pesisir.
Langkah Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Tengah memberi fokus pada udang memperlihatkan cara baru membaca isu ketahanan pangan. Bukan cuma menambah produksi, tetapi memastikan rantai pasok berjalan berkelanjutan. Udang dipilih bukan tanpa alasan. Komoditas ini kaya protein, relatif bernilai tinggi, sekaligus punya peluang besar mendorong pembudidaya skala kecil masuk ke pasar program publik. Jika pengelolaan pasokan tepat, Program Makan Bergizi Gratis berpeluang menjadi tulang punggung ketahanan pangan daerah.
Udang sebagai Pilar Baru Ketahanan Pangan
Selama ini, pembahasan ketahanan pangan di Indonesia sering berhenti pada swasembada beras. Padahal, kebutuhan gizi masyarakat jauh lebih kompleks. Tubuh memerlukan protein hewani berkualitas, mineral, serta asam lemak esensial. Udang menawarkan kombinasi komponen tersebut. Ketika Kalteng menempatkan udang dalam skema Program Makan Bergizi Gratis, muncul sinyal perubahan paradigma. Ketahanan pangan tidak lagi sebatas cukup kalori, tetapi juga kecukupan gizi.
Dalam konteks kebijakan publik, keputusan memperkuat pasokan udang untuk program MBG layak dilihat sebagai investasi jangka panjang. Asupan protein cukup sejak usia sekolah membantu perkembangan otak, daya tahan tubuh, serta konsentrasi belajar. Anak dengan gizi lebih baik cenderung memiliki prestasi akademik lebih stabil. Di sini, ketahanan pangan bertemu pengembangan sumber daya manusia. Makanan bergizi bukan komponen pelengkap, melainkan fondasi daya saing daerah.
Dari sisi keberlanjutan, udang pun punya potensi besar. Budidaya terkelola baik mampu memberikan hasil tinggi pada lahan terbatas. Jika dibarengi praktik ramah lingkungan, misalnya pengelolaan kualitas air dan pakan secara ketat, daya dukung ekosistem dapat terjaga. Ketahanan pangan akhirnya tidak hanya diukur lewat volume produksi jangka pendek, namun juga kemampuan ekosistem menyediakan pangan berkualitas pada generasi mendatang. Di titik ini, kebijakan Dislutkan Kalteng patut diawasi sekaligus diapresiasi.
Menghubungkan Program MBG, Pembudidaya, dan Pasar Lokal
Program Makan Bergizi Gratis berpotensi menjadi pasar terjamin bagi pembudidaya udang lokal. Namun, potensi belum tentu otomatis berubah menjadi manfaat. Diperlukan desain rantai pasok yang jelas. Mulai dari pola kontrak pembelian, standar mutu, jadwal pengiriman, hingga mekanisme pembayaran. Tanpa itu, ketahanan pangan berbasis udang hanya berhenti pada wacana. Pembudidaya membutuhkan kepastian penyerapan hasil agar berani meningkatkan kapasitas produksi.
Dari sudut pandang saya, langkah ideal ialah menghubungkan kelompok pembudidaya dengan koperasi atau BUMD pangan. Entitas perantara tersebut dapat mengelola agregasi pasokan, standardisasi, hingga distribusi ke sekolah atau titik layanan program MBG. Skema ini mengurangi risiko fluktuasi harga di tingkat pembudidaya. Ketahanan pangan kemudian berdiri di atas jejaring ekonomi lokal yang saling menguatkan, bukan hubungan transaksional sesaat antara pembudidaya dan pemerintah.
Namun, integrasi pasar lokal memerlukan peningkatan kapasitas teknis. Banyak pembudidaya udang skala kecil belum terbiasa memenuhi standar higienitas ketat. Pendampingan teknis, mulai dari pengelolaan tambak, panen, hingga penanganan pasca panen, menjadi syarat mutlak. Di sini, ketahanan pangan tampak sebagai proses belajar kolektif. Pemerintah daerah, penyuluh, pelaku usaha, serta pembudidaya perlu bergerak selaras. Tanpa peningkatan kapasitas, pasokan bisa tersendat ketika program MBG mulai meluas.
Risiko, Tantangan, dan Peluang Transformasi Kebijakan
Setiap kebijakan berbasis komoditas tunggal mengandung risiko. Ketergantungan tinggi pada udang berpotensi menimbulkan masalah bila terjadi serangan penyakit, perubahan iklim ekstrem, atau gejolak harga pakan. Karena itu, menurut saya, penguatan pasokan udang untuk Program Makan Bergizi Gratis sebaiknya dibaca sebagai pintu masuk. Bukan satu-satunya tumpuan ketahanan pangan. Diversifikasi sumber protein tetap penting. Ikan air tawar, telur, serta kacang-kacangan harus ikut hadir menemani. Kekuatan utama pendekatan Kalteng bukan pada udang itu sendiri, melainkan keberanian merangkai ulang konsep ketahanan pangan: lebih bergizi, lebih berpihak kepada produsen lokal, juga lebih sadar lingkungan. Bila tahap perencanaan, pendampingan, dan pengawasan berjalan konsisten, inisiatif ini berpeluang menjadi model baru kebijakan pangan daerah yang menempatkan kesehatan generasi muda sebagai prioritas utama, sekaligus mengubah tambak-tambak kecil menjadi motor ekonomi pesisir yang tahan guncangan.
