idteknologi.com – Jakarta menyambut sebuah momen islamic bersejarah: Liga Muslim Dunia menggelar kompetisi Al-Qur’an internasional pertama khusus untuk penyandang tunanetra. Ajang ini bukan sekadar lomba tilawah, tetapi juga panggung penghormatan terhadap ketekunan mereka yang menghafal kitab suci tanpa bantuan penglihatan. Dari berbagai penjuru dunia, para peserta datang membawa kisah perjuangan, doa, serta harapan, menjadikan Jakarta sebagai pusat perhatian komunitas islamic global hingga 7 Desember 2025.
Bagi saya, kehadiran kompetisi islamic semacam ini mengubah cara pandang terhadap makna prestasi religius. Kita sering mengaitkan hafalan Al-Qur’an dengan penglihatan, mushaf, dan suasana belajar konvensional. Di sini, semua itu diredefinisi melalui sentuhan, memori, dan suara. Event islamic ini mengirim pesan kuat: keterbatasan fisik bukan penghalang untuk menggapai derajat spiritual tertinggi. Justru, dari keterbatasan itulah lahir keteguhan yang menginspirasi dunia.
Jakarta Menjadi Pusat Perhatian Islamic Dunia
Pemilihan Jakarta sebagai tuan rumah kompetisi islamic internasional untuk tunanetra memiliki makna simbolik sekaligus strategis. Indonesia dengan populasi muslim terbesar menawarkan ekosistem keagamaan yang kaya, lembaga pendidikan Qur’ani luas, serta komunitas disabilitas cukup aktif. Liga Muslim Dunia tampak memanfaatkan momentum tersebut guna menunjukkan bahwa pusat gravitasi kegiatan islamic global tidak lagi terkunci pada kawasan Timur Tengah saja, tetapi juga merentang ke Asia Tenggara.
Suasana di lokasi acara menggambarkan pertemuan tradisi islamic lintas negara. Peserta datang mengenakan busana khas daerah masing-masing, membawa aksen bahasa berbeda, namun bertemu pada satu titik: kecintaan terhadap Al-Qur’an. Juri, panitia, serta relawan bekerja memastikan kebutuhan tunanetra terpenuhi, mulai dari pendamping, penunjuk arah, hingga sistem antrean ramah disabilitas. Detail teknis ini menunjukkan keseriusan panitia mengusung event islamic yang inklusif, bukan sebatas seremoni simbolik.
Dari sudut pandang pribadi, ini menjadi bukti bahwa label islamic tidak cukup hanya menempel pada spanduk atau nama acara. Esensi islamic hadir ketika nilai rahmah, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia benar-benar diterapkan. Kompetisi ini menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek utama, bukan objek belas kasihan. Mereka tampil sebagai teladan penghafal Al-Qur’an, sementara kita belajar rendah hati serta memperbaiki cara memperlakukan saudara seiman yang memiliki kebutuhan khusus.
Dimensi Spiritual, Sosial, dan Teknologi dalam Ajang Islamic
Dimensi spiritual kompetisi islamic ini terasa kuat melalui hubungan mendalam peserta dengan Al-Qur’an. Banyak dari mereka menghafal ayat demi ayat menggunakan mushaf braille, rekaman audio, bahkan bimbingan langsung dari guru. Proses tersebut membutuhkan konsistensi tinggi, karena mereka tidak bisa sekadar melirik baris teks ketika ragu. Setiap kesalahan tajwid atau pelafalan harus dikoreksi melalui pendengaran tajam. Di titik itu, ayat-ayat Qur’an benar-benar hidup di memori, bukan hanya di halaman mushaf.
Pada ranah sosial, kompetisi islamic ini menantang stigma umum mengenai disabilitas. Terlalu sering penyandang tunanetra ditempatkan di pinggiran komunitas, dianggap beban, bukan aset. Ketika mereka berdiri di panggung internasional, membaca ayat suci dengan lantang, gambaran tersebut runtuh. Mereka memperlihatkan kemampuan mengelola tekanan mental, menjaga fokus, serta menjaga kekhusyukan. Menurut saya, inilah momen penting bagi institusi pendidikan islamic untuk menata ulang kurikulum agar lebih ramah disabilitas.
Aspek lain yang menarik adalah peran teknologi islamic braille dan perangkat audio. Mushaf braille bukan sekadar alat baca; ia menjembatani tradisi dengan inovasi. Di beberapa negara, peserta terbiasa menggunakan aplikasi perekam, perangkat pembaca layar, hingga platform pembelajaran online yang dirancang khusus. Ketika semua ini berkumpul di Jakarta, kita melihat ekosistem islamic modern yang tidak alergi pada teknologi, justru memanfaatkannya untuk memuliakan Al-Qur’an serta menguatkan komunitas tunanetra muslim.
Tantangan, Harapan, dan Refleksi atas Masa Depan Islamic Inklusif
Tentu masih ada banyak tantangan besar. Setelah kompetisi islamic ini usai, pertanyaan utama ialah: apakah semangat inklusif akan mengalir ke masjid, madrasah, serta lembaga sosial kita, atau berhenti di panggung acara saja? Menurut saya, ajang ini seharusnya menjadi titik tolak gerakan lebih luas: pembangunan infrastruktur ibadah ramah disabilitas, pelatihan guru Qur’an tentang metode braille, hingga dukungan beasiswa khusus hafiz tunanetra. Di tingkat individu, momentum islamic ini mengajak kita bercermin; jika mereka mampu menjaga hafalan tanpa melihat teks, apa alasan kita masih abai terhadap Al-Qur’an yang mudah diakses? Kompetisi di Jakarta mungkin akan berakhir pada 7 Desember 2025, namun nilai islamic yang dipancarkan layak terus hidup dalam kebijakan, kebiasaan, serta cara kita memuliakan saudara-saudara tunanetra di seluruh penjuru dunia.
