idteknologi.com – Pernyataan pedas Chusnul Chotimah tentang kebijakan energi memicu perbincangan luas. Pegiat media sosial itu menyorot langkah pemerintah era presiden Prabowo Subianto, terutama keputusan Menteri ESDM. Menurutnya, bila presiden saja bisa menerima informasi keliru, publik bisa lebih rentan tertipu. Ungkapan tersebut segera menyebar, memancing pro dan kontra di ruang digital.
Kontroversi ini menguji sejauh mana transparansi kebijakan energi presiden Prabowo Subianto. Di tengah harga energi yang sensitif, kepercayaan publik menjadi modal vital. Kritik Chusnul bukan sekadar serangan personal, melainkan alarm tentang komunikasi kebijakan yang dianggap tidak jujur. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu menjawab keresahan ini dengan data terbuka dan kebijakan yang konsisten?
Konteks Kritik terhadap Kebijakan Energi
Era presiden Prabowo Subianto dibuka dengan berbagai janji kemandirian energi. Mulai dari transformasi migas hingga dorongan pada sumber terbarukan. Namun, realitas politik selalu lebih rumit dibanding slogan. Saat Menteri ESDM mengumumkan kebijakan baru, sorotan tajam segera mengarah pada proses pengambilan keputusan. Banyak pihak mempertanyakan basis data, kajian dampak sosial, juga potensi keuntungan kelompok tertentu.
Chusnul Chotimah lalu muncul sebagai salah satu suara lantang. Ia menyorot keterbatasan informasi publik mengenai kebijakan strategis sektor energi. Di matanya, presiden Prabowo Subianto dapat saja menerima laporan sepihak atau data yang sudah “dipoles”. Bila hulu informasinya bermasalah, hilir kebijakan bisa melenceng dari kepentingan rakyat. Kritik itu menyentuh isu fundamental: kualitas tata kelola dan integritas birokrasi.
Suara kritis seperti ini sering dianggap bising. Namun, di sistem demokrasi, kebisingan publik justru berfungsi sebagai mekanisme koreksi. Ketika kebijakan energi menyentuh harga BBM, subsidi listrik, hingga proyek besar gas atau batu bara, taruhannya bukan kecil. Keliru membaca situasi bisa memicu gejolak sosial. Karena itu, respons pemerintah terhadap kritik menjadi indikator kedewasaan politik presiden Prabowo Subianto beserta jajaran.
Kepercayaan Publik dan Risiko Manipulasi Informasi
Kalimat “presiden saja bisa dibohongi apalagi rakyat” terasa kasar, namun mengandung peringatan serius. Ia menggambarkan kecemasan lama: jarak antara pusat kekuasaan dan warga biasa. Di level elite, informasi kerap mengalir melalui filter interes politik, bisnis, serta jaringan patronase. Bukan mustahil data yang sampai ke meja presiden Prabowo Subianto sudah disesuaikan dengan agenda tertentu, bukan kebutuhan publik luas.
Bila skenario itu benar, publik berada di posisi paling lemah. Masyarakat menerima versi informasi terakhir, setelah melewati berlapis narasi resmi, konferensi pers, serta kampanye digital. Di sinilah peran pegiat media sosial menjadi signifikan, meski sering kontroversial. Mereka menantang narasi tunggal, membandingkan data, membongkar inkonsistensi pernyataan pejabat. Tentu, tidak semua kritik akurat, namun kehadirannya mencegah dominasi informasi sepihak.
Pemerintahan presiden Prabowo Subianto perlu melihat kritik ini sebagai peluang memperkuat legitimasi. Cara terbaik meredam tuduhan kebohongan bukan lewat serangan balik personal, melainkan lewat transparansi. Misalnya, membuka kajian harga energi, kontrak jangka panjang, juga skema subsidi kepada publik dengan bahasa mudah. Ketika data tersedia luas, ruang manipulasi menyempit. Kepercayaan tidak lahir dari slogan, melainkan dari konsistensi dan keterbukaan.
Tantangan Kebijakan Energi di Era Baru
Sektor energi selalu menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Ada tekanan industri fosil, tuntutan aktivis lingkungan, kebutuhan fiskal negara, serta harapan rakyat akan harga terjangkau. Presiden Prabowo Subianto mewarisi kontradiksi tersebut, lalu menambahkan agenda baru seperti hilirisasi dan kedaulatan energi. Tantangannya, bagaimana menyeimbangkan semuanya tanpa mengorbankan kredibilitas. Kebijakan yang berubah-ubah, penjelasan yang berbelit, atau pernyataan pejabat yang saling bertentangan hanya memperkuat kesan bahwa publik sedang diuji kesabarannya.
Anatomi Kebijakan Energi di Bawah Prabowo
Untuk menilai adil kritik Chusnul, perlu membedah struktur kebijakan energi era presiden Prabowo Subianto. Secara garis besar, ada tiga pilar utama. Pertama, keamanan pasokan energi, khususnya BBM dan listrik. Kedua, stabilitas harga agar industri maupun rumah tangga tidak terguncang. Ketiga, transformasi menuju energi bersih jangka panjang. Setiap pilar menyimpan konflik kepentingan serta negosiasi kompleks, baik di dalam pemerintahan maupun dengan pelaku usaha.
Pilar keamanan pasokan sering dijadikan alasan untuk mempertahankan ketergantungan pada batu bara dan impor migas. Di sini, keputusan Menteri ESDM menjadi sorotan karena menyangkut izin tambang, kontrak eksplorasi, hingga kebijakan impor. Kritik muncul saat publik menilai prosesnya kurang partisipatif dan minim penjelasan rinci. Dalam situasi seperti itu, wajar bila muncul kecurigaan adanya “penumpang gelap” kebijakan energi presiden Prabowo Subianto.
Pilar kedua, stabilitas harga, jauh lebih terasa langsung oleh rakyat. Kenaikan harga BBM atau tarif listrik sekecil apapun segera memicu respon keras. Pemerintah harus menyeimbangkan tekanan fiskal dengan kemampuan beli masyarakat. Bila komunikasi lambat atau terkesan menutupi fakta, tuduhan kebohongan akan menguat. Di sinilah pentingnya menjaga konsistensi pesan antara presiden Prabowo Subianto, Menteri ESDM, dan kementerian lain. Satu kalimat salah bisa menguapkan cadangan kepercayaan publik.
Media Sosial, Opini Publik, dan Pertarungan Narasi
Kritik Chusnul Chotimah tidak lahir di ruang hampa. Ekosistem media sosial Indonesia sudah lama menjadi ajang pertarungan narasi politik. Setiap kebijakan besar, terutama terkait energi, segera direspons beragam akun, dari influencer besar hingga anonim. Era presiden Prabowo Subianto tidak akan lepas dari pola ini. Bahkan, karena ekspektasi tinggi sejak kampanye, kekecewaan bisa muncul lebih cepat bila kebijakan terasa bertolak belakang dengan janji.
Di satu sisi, pemerintah memiliki sumber daya besar untuk mengelola citra: humas resmi, konferensi pers, hingga tim komunikasi digital. Di sisi lain, publik punya ingatan kolektif dan akses informasi luas. Saat pernyataan pejabat tidak konsisten, tangkapan layar lama segera beredar. Mekanisme ini membuat tuduhan “membodohi rakyat” cepat mendapat panggung. Bukan karena publik anti pemerintah, namun karena orang makin terbiasa membandingkan klaim dengan fakta.
Dari sudut pandang pribadi, keberadaan pengkritik keras seperti Chusnul sebenarnya sehat bagi demokrasi, selama tetap bertumpu pada data serta argumen. Pemerintahan presiden Prabowo Subianto perlu mengembangkan kultur dialog, bukan hanya klarifikasi satu arah. Misalnya, forum daring berkala untuk menjawab pertanyaan kritis seputar energi, atau publikasi ringkas kebijakan dalam format visual. Transparansi yang komunikatif jauh lebih efektif meredam kecurigaan dibanding ancaman pelaporan atau stigmatisasi pengkritik.
Antara Janji Politik dan Realitas Teknis
Setiap masa kampanye, isu energi sering disederhanakan jadi janji manis: harga turun, pasokan aman, investasi deras, lingkungan terjaga. Namun, ketika memasuki pemerintahan, presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada realitas teknis yang keras. Kontrak jangka panjang, ketergantungan impor, keterbatasan anggaran, serta tekanan global iklim menuntut keputusan tidak populer. Di titik inilah komunikasi jujur diuji. Mengakui keterbatasan lebih terhormat daripada menutupinya dengan narasi optimistis kosong. Publik mungkin kecewa, tetapi tetap bisa menghargai pemimpin yang berani berkata apa adanya.
Refleksi: Di Antara Harapan, Kecurigaan, dan Transparansi
Pernyataan Chusnul bahwa presiden bisa dibohongi mestinya dibaca sebagai peringatan, bukan vonis akhir. Sistem politik modern selalu menyimpan risiko distorsi informasi. Namun, risiko itu dapat diperkecil lewat mekanisme kontrol yang kuat. Parlemen, lembaga audit, media independen, serta warga kritis semuanya berperan. Tugas presiden Prabowo Subianto bukan menjadi sosok serba tahu, melainkan pemimpin yang membangun jaringan informasi sehat, terbuka terhadap kritik, dan berani mengoreksi kebijakan bila terbukti keliru.
Dari sisi publik, penting menjaga sikap kritis tanpa terjebak sinisme total. Tidak semua kebijakan buruk, tidak semua pejabat jahat, namun tidak ada juga kekuasaan yang boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Di ranah energi, dampak keputusan terasa puluhan tahun. Salah langkah hari ini bisa membebani dua generasi berikutnya. Karena itu, setiap sinyal ketidakjujuran layak dipertanyakan, namun juga perlu diuji dengan data dan analisis tenang.
Pada akhirnya, masa pemerintahan presiden Prabowo Subianto akan dinilai bukan dari seberapa sering kritik dibungkam, melainkan seberapa jauh ia mampu menjadikan kritik sebagai bahan perbaikan. Kebijakan energi yang berkeadilan mensyaratkan tiga hal: bukti kuat, dialog terbuka, dan keberanian mengakui kesalahan. Bila tiga unsur itu terpenuhi, tuduhan “membodohi rakyat” perlahan kehilangan relevansi. Refleksi penting bagi kita semua: demokrasi hanya tumbuh sehat ketika pemimpin dan rakyat sama-sama berani mencari kebenaran, bukan sekadar membela kenyamanan masing-masing.
